Dukuh Ngadirejo desa Sumberagung kecamatan Ngantang kabupaten Malang Jawa Timur, merupakan sudut wilayah dengan pertanian yang cukup melimpah. Sekitar 75% penduduknya mengabdi pada lahan hasil turun-temurun peninggalan nenek moyang. Peradaban yang kian meningkat juga membawa perubahan pada pola hidup masyarakatnya, namun kehidupan bertani mereka masih dipertahankan yaitu dengan menyelipkan tanaman pohon pada lahan budidaya mereka. Tak ada sesuatu tanpa alasan, dengan sistem agroforestri ini petani mampu menghidupi keluarganya secara berkelanjutan. Keseimbangan nilai ekonomis dan ekologis tidak mudah untuk dilakukan, latar belakang apa yang menjadikan sebagian petani di desa ini bertahan dengan sistem agroforestri?
TANTANGAN. Wasis (45 tahun) salah satu petani dengan lahan seluas 0.25 hektar yang didapatkan dari peninggalan orang tua sejak lahir. Petani agroforestri yang mengkombinasikan tiga tanaman sekaligus dalam satu wilayah yaitu kopi, sengon dan nilam ini menyebut pertaniannya sebagai “wana tani”. Produksi tanaman yang ditanam pada lahan agroforestri ini juga beragam, kopi yang berusia sekitar lima tahunan dan dipanen setahun sekali setelah tiga tahun ini memiliki harga kering Rp 20.000 dan Rp 3.500 harga basah per kilogramnya, sedangkan sengon dijual per gelondongnya dengan harga yang beragam sesuai dengan ukuran dan kehalusan permukaannya. Nilam sebagai tanaman seling juga memiliki nilai ekonomis yang cukup membantu, per kilogram batang dan daun nilam dihargai Rp 1000 dan 1.500 jika permintaan naik, nilam ini dipanen tiga bulan sekali. Naik turunnya harga dan permintaan ini membuat pak Wasis “ketar-ketir”, apalagi jika ditambah perawatan lainnya, yakni pemupukan yang dilakukan setiap 1 tahun dua kali. “kadang-kadang hasilnya tidak sesuai sama perawatannya mbak” ungkap pak Wasis begitu beliau akrab disapa oleh masyarakat sekitar. Hasil panen lahan yang setahun sekali dan produksi yang tidak menentu ternyata menjadi tantangan bagi agroforestri ini.
INISIATIF. Dengan kondisi produksi yang demikian ini tidak membuat pak Wasis menyerah dengan kondisi. Beberapa ide seperti dengan memanfaatkan kotoran kambing sebagai pengganti pupuk anorganik yang biasa dibelinya, mengembalikan daun-daun kopi yang dirompes ke dalam kandang, sehingga penghematan dapat dilakukan. Kemudian pada lahan ini ditambahkan beberapa tanaman penunjang ekonomi seperti nuah langsep, durian, dan beberapa tanaman lainnya yang membuat lahannya semakin kompleks.
HASIL. Dengan inisiatif demikian pak Wasis mampu menghasilkan produk tanaman lain dari kebunnya dan menekan jumlah penggunaan pupuk, sehingga semuanya dirasa lebih mudah dan pertaniannya dapat berjalan lebih sehat. Sebagian petani hanya menyadari pertanian seperti ini membawa nilai ekonomis, tanpa disadari bahwa mereka telah menyumbang nilai ekologis dengan mempertahankan pohon-pohonan. Pak Wasis mengatakan bahwa ia akan bertahan dengan pertanian ini karena agroforestri membawa berkah dan menjauhkan daerah ini dari bencana dan sistem pertanian ini merupakan warisan dari nenek moyang yang perlu dijaga kelestariannya. (by: ilfa ikromi)